ANALISIS HUKUM: Ketika Fatwa Menabrak Konstitusi

Ir. H. Chriswanto Santoso, M.Sc. | Ketua Umum DPP LDII - 2021-2026


Berikut Kajian Hukum dan Pasal-Pasal Pelanggaran yang dapat Anda sertakan dalam artikel tersebut. Bagian ini berfungsi sebagai legal warning (somasi terbuka) untuk memperkuat argumen bahwa tindakan kesewenang-wenangan tersebut bukan hanya masalah internal organisasi islam ( LDII ), melainkan pelanggaran hukum positif di Indonesia.


ANALISIS HUKUM: Ketika Fatwa Menabrak Konstitusi


Tindakan oknum DPP LDII yang melakukan pemecatan sepihak, pelabelan sesat/kafir (takfir), serta intimidasi psikologis (boikot/tahdzir) terhadap jemaah, secara nyata telah mencederai Sila ke-2 Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.


Dalam perspektif hukum positif Indonesia, tindakan tersebut dapat dijerat dengan pasal-pasal berlapis sebagai berikut:


1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (UU No. 39 Tahun 1999)

Tindakan "membunuh karakter" dan mengucilkan jemaah adalah bentuk kekerasan psikis yang merampas rasa aman warga negara.


Pasal 29 Ayat (1): "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya."Relevansi: Labelisasi "murtad" atau "keluar dari Islam" tanpa dasar hukum negara adalah serangan langsung terhadap kehormatan dan martabat pribadi jemaah.


Pasal 22 Ayat (1) & (2): "Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."


Relevansi: Memaksa seseorang keluar dari komunitas agama atau menghalangi akses ibadah mereka di masjid (pengusiran) adalah pelanggaran hak kebebasan beragama.


2. Pelanggaran Konstitusi (UUD 1945)


Sebagai hukum tertinggi, UUD 1945 menjamin perlindungan terhadap ancaman ketakutan. Pasal 28G Ayat (1): "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi."


Relevansi: Praktik intimidasi oleh "Tim Bayangan" yang membuat jemaah resah dan takut bersuara adalah bentuk pelanggaran konstitusional.


3. Tindak Pidana dan Kejahatan terhadap Ketertiban Umum (KUHP)


Jika maklumat atau instruksi tersebut berisi tuduhan palsu atau ujaran kebencian, maka dapat masuk ranah pidana.


Pasal 310 & 311 KUHP (Pencemaran Nama Baik & Fitnah): Jika tuduhan "keluar dari Islam/Jemaah" disebarkan di muka umum (masjid/grup WA) untuk mempermalukan seseorang tanpa bukti syar'i dan hukum yang sah, maka pelaku (pembuat maklumat) dapat dipidana.


Pasal 335 KUHP (Perbuatan Tidak Menyenangkan/Pemaksaan): Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan.


4. Pelanggaran UU Ormas (UU No. 16 Tahun 2017)


LDII sebagai organisasi kemasyarakatan (Ormas) terikat pada aturan negara.

Pasal 59 Ayat (3) huruf c dan d: Ormas dilarang:


  • c. Melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial;
  • d. Melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Relevansi: Menghukum, mengadili, atau memvonis "salah/benar" secara sepihak seolah-olah lembaga peradilan, serta menciptakan keresahan sosial (konflik horizontal antar jemaah), adalah pelanggaran berat yang bisa berujung pada sanksi pembubaran atau pembekuan kegiatan organisasi.


Kesimpulan Hukum


Narasi "Membuat Hukum Sendiri" di luar perintah Allah dan Rasul, serta di luar koridor hukum negara, menempatkan Dugaan oknum Tim Gus Lukman Hakim, Wildi Istimror, dkk. dalam posisi yang sangat rentan secara hukum.


Negara tidak membenarkan adanya "State within a State" (Negara dalam Negara). Memaksakan aturan kelompok yang bertentangan dengan HAM dan Pancasila adalah tindakan inkonstitusional yang harus segera dihentikan sebelum aparat penegak hukum bertindak tegas.

0 Comments




-->